Pendahuluan

Sejak tahun lalu beredar kabar bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia tengah mempersiapkan produk baru berupa Peraturan Mahkamah Agung yang khusus mengatur tentang pemeriksaan permohonan pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase (“Raperma”). Upaya ini patut diapresiasi karena sejak Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU No 30/1999”) diundangkan pada tanggal 12 Agustus 1999[1] tidak ada peraturan pelaksanaannya kecuali hasil rapat kamar Mahkamah Agung tentang arbitrase yang kemudian dituangkan dalam surat-surat edaran[2] atau peraturan[3] Mahkamah Agung yang sifatnya sporadis.

Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan dewasa ini telah diterima di kalangan dunia usaha. Meskipun demikian, dunia perarbitrasean di Indonesia masih kerap dikritik oleh para praktisi luar negeri sebagai tidak atau kurang pro-arbitrase atau tidak ramah terhadap arbitrase khususnya arbitrase internasional. Salah satu penyebabnya adalah–menurut pendapat penulis– selain kurangnya pemahaman terhadap sistem arbitrase modern yang utuh/komprehensif,[4] juga tidak atau kurang jelasnya regulasi yang ada yang membuatnya menjadi demikian.[5] Ketidakjelasan atau kekurangjelasan regulasi ini dapat berlanjut atau bahkan bertambah jika Raperma ini diterbitkan sebagai peraturan. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas salah satu aspek dalam Raperma khususnya yang terkait dengan konsep “Putusan Arbitrase Internasional”  dan pentingnya mengintroduksikan konsep “Putusan Arbitrase Non-Domestik” dalam Raperma tersebut.

Undang-Undang No 30/1999 adalah hukum nasional atau domestic legislation[6] yang mengatur tentang arbitrase. Meskipun UU No 30/1999 tidak mengadopsi UNCITRAL Model Law tentang arbitrase,[7]namun menurut pendapat penulis, sistem arbitrase yang terdapat di dalam UU No 30/1999 telah cukup progresif dan setara dengan sistem UNICTRAL Model Law yang cukup complicated belum lagi jika terminologi-terminologi dalam Bahasa Inggris yang terdapat dalam UNCITRAL Model Law harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan disesuaikan dalam konteks hukum Indonesia. Khusus dalam bidang arbitrase internasional, UU No 30/1999 memiliki sistem yang unik yang tidak dimiliki dalam UNCITRAL Model Law yang–menurut pendapat penulis–justeru menjadi keunggulan tersendiri.

Dengan landasan sistem yang telah cukup progresif dan unik ini, seharusnya yang perlu dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam Raperma adalah memperjelas dan memperkuat norma yang ada, bukan justeru mengacaukannya dengan membuat norma baru yang bertabrakan

Definisi “Putusan Arbitrase Internasional”

Raperma mencoba membuat definisi baru mengenai “Putusan Arbitrase Internasional” yang diatur dalam Pasal 1 Angka 14 Raperma. Definisi ini apabila dibaca, ternyata jauh berbeda dengan definisi “Putusan Arbitrase Internasional” yang diatur dalam Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999. Sebagai perbandingan, kedua definisi dalam Raperma dan UU No 30/1999 disajikan di bawah ini:

Definisi

Pasal 1 Angka 14 Raperma

Definisi

Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999

Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan arbitrase yang mengandung unsur transnasional atau internasional, baik dari sisi pihak yang bersengketa, arbiter perorangan atau Lembaga arbitrase yang mengadili dan hukum yang mengatur.

 

Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Perbedaan di atas sedemikian mencolok sehingga menimbulkan pertanyaaan apakah definisi dalam Raperma telah merubah definisi dalam UU No 30/1999? Secara formal, pemberian definisi yang berbeda dalam Raperma ini sudah memberikan kesulitan tersendiri. Jika merubah, dari sisi hirarki peraturan perundang-undangan, tentunya definisi dalam Raperma tidak serta merta dapat mengesampingkan definisi dalam UU No 30/1999. Namun jika tidak mengesampingkan, bagaimana penerapan kedua definisi tersebut dalam praktek?

Penulis memahami bahwa keinginan untuk memberikan definisi yang lebih luas tersebut dalam Raperma didorong oleh keinginan mengintroduksikan konsep arbitrase internasional yang oleh beberapa akademisi kerap didorong untuk diadakan.[8] Di beberapa negara, untuk mengintroduksikan konsep arbitrase internasional dalam hukum nasional negara diperlukan undang-undang khusus untuk itu yang berbeda dengan undang-undang arbitrase nasional. Misalnya Singapura yang memiliki 2 (dua) undang-undang arbitrase yaitu Arbitration Act yang berlaku untuk arbitrase nasional/domestik dan International Arbitration Actyang berlaku untuk arbitrase internasional di Singapura[9] di mana keduanya mengadopsi UNCITRAL Model Law. Kelihatannya jalan pintas ini dilakukan dengan memberikan definisi baru atas “Putusan Arbitrase Internasional” dalam Raperma.

Dalam konteks Indonesia, menurut pendapat penulis, Indonesia belum siap untuk membuat separasi pengaturan tentang arbitrase nasional dan arbitrase internasional. Yang diperlukan oleh Indonesia adalah memperkuat rezim arbitrase nasional dan arbitrase internasional yang berbasis UU No 30/1999 yang menurut pendapat penulis sudah cukup progresif dan hanya perlu diperkuat di beberapa sisi untuk memperkuat rezim arbitrase internasional di Indonesia.

Jika definisi “Putusan Arbitrase Internasional” dalam Pasal 1 Angka 14 Raperma benar-benar diundangkan, maka yang akan terjadi adalah ketidakjelasan dan muncul polemik baru. Selain definisi tersebut tidak mengandung unsur teritorialitas sebagai kelemahan utama, juga definisi tersebut mengandung polemik tambahan mengenai–misalnya–apa yang dimaksud dengan “unsur transnasional” atau “unsur internasional” baik dari sisi “pihak yang bersengketa“, “arbiter perorangan atau lembaga arbitrase yang mengadili” atau “hukum yang mengatur”. Sebagai gambaran dapat diberikan contoh perkara sebagai berikut:

Contoh-1:

Apakah Putusan Arbitrase BANI yang dijatuhkan dalam perkara arbitrase antara Pemohon perusahaan Indonesia dan Termohon perusahaan asing dengan tempat arbitrase di Jakarta Selatan dan majelis arbitrase yang seluruhnya WNI akan merupakan “Putusan Arbitrase Nasional” atau “Putusan Arbitrase Internasional”?

Dalam konteks Pasal 1 Angka 14 Raperma, putusan arbitrase di atas dapat dikualifikasikan sebagai “Putusan Arbitrase Internasional” karena di dalamnya terdapat unsur “transnasional/internasional” yaitu salah satu “pihak yang bersengketa” adalah pihak asing (yaitu Termohon).  Namun dalam konteks Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999, putusan arbitrase dalam Contoh-1 adalah “Putusan Arbitrase Nasional” karena dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia. Pengklasifikasian apakah suatu putusan arbitrase dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Nasional” atau “Putusan Arbitrase Internasioal” akan membawa dampak terhadap pendaftaran, pembatalan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut di Indonesia.

Apabila putusan arbitrase dalam Contoh-1 dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Internasional” berarti putusan tersebut tidak harus didaftarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari oleh Majelis Arbitrase, tetapi dapat didaftarkan apabila akan dimohonkan pengakuan dan pelaksanaan (recognition and enforcement) di Indonesia. Namun, jika putusan yang sama dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Nasional”, maka putusan tersebut wajib didaftarkan jangka waktu pendaftaran 30 (tiga puluh) hari dengan konsekuensi apabila terlambat, putusan tersebut akan menjadi tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.

Persoalan tambahan juga muncul, yaitu jika putusan arbitrase tersebut dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Nasional”, maka di mana pendaftaran tersebut dilaksanakan? Karena berdasarkan sistem UU No 30/1999, pendaftaran terhadap putusan arbitrase nasional dilakukan kepada Panitera Pengadilan Negeri tempat kedudukan Termohon, sedangkan dalam konteks Contoh-1 Termohon tidak berkedudukan di Indonesia, sehingga tidak ada Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mendaftar putusan arbitrase dengan Termohon perusahaan di luar negeri. Kalau pun yang dianggap berwenang untuk mendaftar putusan arbitrase tersebut adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dianggap “Putusan Arbitrase Internasional”, maka harus dipertanyakan lagi apakah pendaftaran tersebut juga harus dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan dan harus memenuhi syarat Pasal 67 huruf (c) UU No 30/1999?

Selain itu apabila putusan arbitrase dalam Contoh-1 dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Internasional”, maka putusan tersebut semestinya tidak dapat dibatalkan di Indonesia karena Pengadilan Negeri yang berwenang untuk membatalkan adalah Pengadilan Negeri di tempat tinggal Termohon. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun tidak berwenang untuk membatalkan karena berdasarkan kaidah hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan pembatalan “Putusan Arbitrase Internasional”.[10]

Sekarang apabila contohnya dibalik sedikit sebagaimana Contoh-2 di bawah ini, apakah juga akan menghasilkan jawaban yang sama?

Contoh-2:

Apakah Putusan Arbitrase BANI yang dijatuhkan dalam perkara arbitrase antara Pemohon perusahaan asing dan Termohon perusahaan Indonesia dengan tempat arbitrase di Jakarta Selatan dan majelis arbitrase yang seluruhnya WNI akan merupakan “Putusan Arbitrase Nasional” atau “Putusan Arbitrase Internasional”?

Apabila dalam Contoh-2 digunakan definisi dalam konteks Pasal 1 Angka 14 Raperma maka putusan arbitrase tersebut seharusnya tetap dikualifikasikan sebagai “Putusan Arbitrase Internasional” karena terdapat unsur “transnasional/internasional” karena salah satu “pihak yang berperkara” yaitu Pemohon adalah perusahaan asing yang tidak berkedudukan di Indonesia.

Apabila demikian, apakah juga putusan arbitrase tersebut harus pula didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena putusan yang didaftarkan adalah “Putusan Arbitrase Internasional” dan juga apakah juga harus memenuhi ketentuan Pasal 67 huruf (c) UU No 30/1999? Jika didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, apakah hal ini tidak bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) juncto Pasal 1 Angka 4 UU No 30/1999 yaitu pendaftaran dilakukan di Panitera Pengadian Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Termohon?

Selain itu, apakah yang berwenang membatalkan “Putusan Arbitrase Internasional” tersebut adalah tetap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ataukah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Termohon?

Dalam Contoh-2 putusan arbitrase tersebut–meskipun terdapat unsur “transnasional/internasional” ternyata akan lebih mudah–dan penulis pun yakin pembaca sekalian akan setuju–jika dikualifikasikan sebagai “Putusan Arbitrase Nasional” khususnya jika dikaitkan dengan peraturan tentang pendaftaran, pembatalan dan pelaksanaannya.

Kesulitan-kesulitan tersebut muncul karena dua hal yaitu pertama definisi dalam Pasal 1 Angka 14 Raperma tidak mengandung asas teritorial dan kedua, Raperma tidak mengintroduksi apa yang disebut dengan istilah “Putusan Arbitrase Non-Domestik” yang sebenarnya sudah diindikasikan dalam frasa Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999.

Asas Teritorial Tetap Diperlukan

Tidak adanya asas teritorial dalam definisi “Putusan Arbitrase Internasional” dalam Raperma merupakan titik lemah utama. Padahal asas teritorial pada umumnya akan menentukan nasionalitas suatu putusan arbitrase yaitu apakah putusan arbitrase dikategorikan sebagai putusan arbitrase nasional suatu negara atau putusan arbitrase internasional. Nasionalitas suatu putusan arbitrase biasanya digantungkan pada tempat arbitrase atau seat of the arbitration di mana putusan dijatuhkan (atau dianggap dijatuhkan) sebagai elemen yang utama. Semua putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah suatu negara pada asasnya akan merupakan putusan arbitrase nasional di wilayah negara tersebut. Secara a contrario maka putusan yang dijatuhkan di luar wilayah negara tersebut akan merupakan putusan arbitrase internasional bagi negara tersebut. Prinsip teritorialitas ini dianut dalam Konvensi New York 1958 yang telah diaksesi atau diratifikasi 168 negara termasuk Indonesia.

Perlunya Definisi Tentang “Putusan Arbitrase Non-Domestik”

Kesulitan-kesulitan yang dialami sebagaimana dalam contoh perkara di atas tidak akan terjadi apabila Raperma mengintroduksikan konsep “Putusan Arbitrase Non-Domestik” yang sebenarnya telah diindikasikan oleh frasa dalam Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999 yang menyatakan bahwa “…. putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”.

            Berdasarkan frasa tersebut seharusnya diundangkan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999 yang memperjelas kriteria putusan-putusan yang bagaimana yang dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Internasional” sebagaimana dimaksud dalam frasa terakhir Pasal 1 Angka 9. Dalam konsep Pasal 1 Angka 9 ini, putusan yang demikian sejatinya adalah putusan yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia namun oleh hukum Indonesia sendiri dianggap sebagai “Putusan Arbitrase Internasional”. Putusan yang demikian ini dalam konsep Konvensi New York 1958 istilah “non-domestic award[11] atau “Putusan Arbitrase Non-Domestik”.

Dalam contoh perkara di atas jika tidak ada peraturan pelaksanaan dari Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999, maka putusan arbitrase dalam contoh perkara di atas akan tidak konsisten untuk diklasifikasikan apakah putusan tersebut adalah “Putusan Arbitrase Nasional” atau “Putusan Arbitrase Internasional”. Padahal seharusnya ada kategorisasi tambahan di antara “Putusan Arbitrase Nasional” dan “Putusan Arbitrase Internasional” yaitu “Putusan Arbitrase Non-Domestik”.

Dalam sistem UU No 30/1999, “Putusan Arbitrase Non-Domestik” hanya mungkin terjadi apabila pihak Termohonnya adalah tidak berkedudukan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia. Apabila “Putusan Arbitrase Non-Domestik” hendak dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, maka putusan tersebut diperlakukan sebagai Putusan Arbitrase Internasional. Selanjutnya karena “Putusan Arbitrase Non-Domestik” diperlakukan sebagai Putusan Arbitrase Internasional, maka Pasal 67 ayat (2)(c) UU No 30/1999 seharusnya tidak berlaku karena dari mana surat “keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan” akan diperoleh karena tempat arbitrase adalah di dalam wilayah hukum Indonesia?

Terkait dengan persoalan mengenai hak pembatalan, menurut pendapat penulis hal tersebut adalah merupakan pilihan kebijakan Negara Indonesia, apakah Indonesia tetap akan mengawasi “Putusan Arbitrase Non-Domestik” dalam arti Indonesia tetap akan memiliki hak untuk membatalkan “Putusan Arbitrase Domestik” atau melepaskannya dalam arti “Putusan Arbitrase Non-Domestik” tidak dapat dibatalkan di Indonesia.

Materi Pengaturan Dalam Raperma

Berdasarkan konsep “Putusan Arbitrase Non-Domestik” sebagaimana diuraikan di atas, maka Raperma sebenarnya cukup mengatur empat hal pokok yang terkait dengan Putusan Arbitrase Internasional.

Pertama, Raperma seharusnya tidak merubah definisi “Putusan Arbitrase Inetrnasional” sebagaimana telah didefinisikan dalam Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999, namun justeru harus menegaskan bahwa “Putusan Arbitrase Internasional” terdiri dari putusan yang dijatuhkan di luar wilayah hukum Republik Indonesia dan “Putusan Arbitrase Non-Domestik”.

Kedua, Raperma harus menambahkan definisi baru yaitu definisi “Putusan Arbitrase Non-Domestik” yang didefinisikan sebagai “putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia namun Termohonnya tidak berkedudukan hukum di dalam wilayah hukum Republik Indonesia (untuk selanjutnya disebut “Putusan Arbitrase Non-Domestik”)“. Dengan definisi ini, maka putusan arbitrase dalam Contoh-1 akan merupakan “Putusan Arbitrase Non-Domestik” sedangkan putusan arbitrase dalam Contoh-2 akan merupakan “Putusan Arbitrase Nasional”.

Ketiga, Raperma harus menegaskan bahwa pengakuan dan pelaksanaan “Putusan Arbitrase Non-Domestik” di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Putusan Arbitrase Internasional yaitu menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya dan untuk memperoleh pengakuan tersebut Pasal 67 ayat (2) huruf (c) UU No 30/1999 tidak disyaratkan sebagai persyaratan untuk mengajukan permohoan pengakuan dan pelaksanaan atas “Putusan Arbitrase Non-Domestik”. Hal ini semata-mata karena alasan praktis yaitu dari mana surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf (c) tersebut diperoleh?

Keempat, terkait dengan hak pembatalan terhadap “Putusan Arbitrase Non-Domestik”, Raperma harus membuat pilihan apakah “Putusan Arbitrase Non-Domestik” dapat dibatalkan di Indonesia atau tidak.

Menurut pendapat penulis pada tahapan ini Indonesia sebaiknya mengambil posisi bahwa Indonesia tidak akan membatalkan “Putusan Arbitrase Non-Domestik”. Hal ini secara kebijakan akan lebih menguntungkan ke depannya khususnya jika Indonesia berminat merubah citra Indonesia sebagai negara yang tidak pro-arbitrase. Dengan konsep kebijakan bahwa “Putusan Arbitrase Non-Domestik” tidak dapat dibatalkan di Indonesia, maka Indonesia telah menerapkan konsep bahwa “Putusan Arbitrase Non-Domestik” adalah putusan arbitrase yang “floating” atau “delocalised” yaitu “dapat” tidak terikat dengan tempat arbitrase. Jika kebijakan ini diambil dalam Raperma, maka Raperma harus menegaskan bahwa yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Negeri adalah hanya Putusan Arbitrase Nasional (ketentuan Pasal 70 UU No 30/1999 tidak berlaku bagi Putusan Arbitrase Internasional dan Putusan Arbitrase Non-Domestik).

Dengan konsep pengaturan yang sederhana tersebut, maka sistem arbitrase internasional di Indonesia yang telah digariskan oleh UU No 30/1999 justeru–menurut pendapat penulis–akan semakin kuat dan complied dengan Konvensi New York 1958 dan tidak banyak menambah pengaturan serta meminimalisir potensi benturan norma satu sama lain.

Satu-satunya “kelemahan”–kalaupun dapat dikatakan kelemahan yang menurut pendapat penulis sebenarnya justeru keunggulan–adalah “Putusan Arbitrase Non-Domestik” tidak dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 70 UU No 30/1999, jika Indonesia tetap memilih kebijakan tersebut. Dari satu sisi kelihatannya aneh, karena putusan arbitrase dengan tempat arbitrase di Indonesia tidak dapat dibatalkan di Indonesia. Namun demikian, jika ditinjau dari sisi akademis, pemikiran tentang putusan arbitrase tidak dapat dibatalkan sebenarnya sudah lama diperbincangkan di kalangan akademisi internasional.[12] Keinginan ini dilatarbelakangi oleh kondisi saat ini di negara-negara yang mengadopsi UNCITRAL Model Law dan sekaligus meratifikasi/mengaksesi Konvensi New York 1958, telah terjadi apa yang disebut dengan “double control” di mana suatu putusan arbitrase yang di putuskan di suatu negara dapat dibatalkan di negara tersebut dan/atau ditolak pelaksanaannya di negara lain. Hal ini senada dengan “double exequatur” dalam sistem Geneva Convention 1927 yang digantikan oleh Konvensi New York 1958.

Sistem ini kelihatannya tidak mengikuti arus utama dalam dunia perarbitrasean karena ada umumnya pengadilan di negara tempat arbitrase diselenggarakan akan merupakan primary jurisdiction[13] yang berhak untuk membatalkan putusan arbitrase yang dilaksanakan dengan tempat arbitrase di negara tersebut. Namun, dalam hal ini menurut pendapat penulis, hak tersebut dapat dilepaskan oleh Indonesia apabila ternyata arbitrase yang diselenggarakan di wilayah hukum Indonesia sama sekali tidak ada hubungannya dengan Indonesia misalnya para pihak seluruhnya adalah orang asing yang memilih berarbitrase dengan tempat arbitrase di Indonesia namun dengan menggunakan peraturan acara (arbitration rules)[14] yang diadministrasikan oleh lembaga arbitrase asing dan hukum yang berlaku terhadap substansi sengketa (applicable substantive law)[15] maupun hukum yang berlaku terhadap proses arbitrasenya itu sendiri (applicable procedural law) [16] pun hukum asing. Pelepasan hak ini termasuk apabila pihak Termohonnya adalah orang/badan hukum asing yang tidak berkedudukan di Indonesia karena kecil kemungkinan putusan arbitrase tersebut utamanya hanya akan dilaksanakan di negara Termohon dan di sana Termohon masih tetap memiliki hak untuk melakukan penolakan (refusal) terhadap putusan arbitrase dari Indonesia yang akan dilaksanakan di negaranya dengan menggunakan Article V(1) dan (2) Konvensi New York 1958.

Akibat positif lain dari penerapan konsep bahwa “Putusan Arbitrase Non-Domestik” tidak dapat dibatalkan di Indonesia, maka kemungkinan besar wilayah hukum Indonesia akan menjadi salah satu destinasi tempat arbitrase yang favorit di kemudian hari khususnya untuk sengketa-sengketa yang benar-benar bersifat internasional yaitu sengketa-sengketa yang hanya melibatkan para pihak yang semuanya asing (tidak ada keterlibatan pihak Indonesia) dan menggunakan hukum asing sebagai hukum yang berlaku terhadap proses arbitrase namun dengan tempat arbitrase di Indonesia seperti misalnya sengketa-sengketa investasi selain ICSID.[17] Jika ini terjadi maka penulis percaya pada akhirnya hal ini akan menimbulkan efek domino bagi kredibilitas Indonesia di mata dunia perarbitrasean internasional.

Penutup

Mudah-mudahan pembuatan Raperma tentang arbitrase ini akan menjadi momen untuk memperbaiki citra Indonesia di dunia perarbitrasean internasional dan sekaligus membuat Indonesia sebagai center of gravity baru dalam dunia perarbitrasean dan bukan justeru sebaliknya.

Jakarta, 30 Juni 2023 (By A. Setiadi – Advocate of 36 Sovereign Chambers)

 

Lampiran Usulan Materi Putusan Arbitrase Non-Domestik Dalam Raperma (Dengan Menghilangkan Hak Pembatalan Terhadap Putusan Arbitrase Non-Domestik)

Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999:

  1. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

Usulan pengaturan dalam RAPERMA: Memperjelas pengaturan Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999:

Putusan arbitrase yang dianggap sebagai Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 9 UU No 30/1999 adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia namun pihak Termohon tidak berkedudukan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia (untuk selanjutnya disebut “Putusan Arbitrase Non-Domestik.)”

Pasal 67 ayat (2) UU No 30/1999:

(2)  Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan:

  1. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
  2. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
  3. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Usulan pengaturan dalam RAPERMA: Memperjelas Norma Dalam Pasal 67 ayat (2)(a), (b) dan (c) UU No 30/1999:

“Ketentuan Pasal 67 ayat (2)(a) dan (b) sebagaimana tersebut di atas tidak berlaku terhadap Putusan Arbitrase Internasional yang berupa Putusan Arbitrase Non-Domestik yang telah dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Yang dimaksud dengan “negara pemohon” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)(c) di atas adalah “negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan”.

Ketentuan Pasal 67 ayat (2)(c) UU No 30/1999 sebagaimana tersebut di atas tidak berlaku terhadap Putusan Arbitrase Internasional yang berupa Putusan Arbitrase Non-Domestik yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia.”

Pasal 70 UU No 30/1999:

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
  3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Usulan pengaturan dalam RAPERMA: Memperjelas Norma Dalam Pasal 70 UU No 30/1999:

“Putusan arbitrase yang dapat dimohonkan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 adalah terbatas pada putusan arbitrase nasional dan tidak berlaku terhadap Putusan Arbitrase Internasional dan Putusan Arbitrase Non-Domestik.

Footnote:

[1] Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138.

[2] Misalnya SEMA No 04 Tahun 2016 dan SEMA No 08 Tahun 2010.

[3] Misalnya Peraturan Mahkamah Agung No 14 Tahun 2016.

[4] Sistem arbitrase modern yang penulis maksud adalah sistem yang diterima dan dipraktikan secara luas oleh masyarakat internasional di berbagai negara.

[5] Lihat misalnya pandangan praktisi asing terhadap arbitrase di Indonesia dalam: https://www.linkedin.com/pulse/international-arbitration-indonesia-common-challenges-paul-aston/

[6] Yang dimaksud dengan domestic legislation di sini adalah peraturan yang substansinya tidak berakar dari hukum internasional.

[7] Yang dimaksud dengan UNCITRAL Model Law adalah UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration (1985) yang telah dirubah tahun 2006 yang merupakan model undang-undang arbitrase internasional yang dibuat oleh UNCITRAL dan direkomendasikan untuk diadopsi oleh negara-negara yang telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi New York 1958. UNCITRAL Model Law ini dapat dilihat di https://uncitral.un.org/en/texts/arbitration/modellaw/commercial_arbitration#:~:text=adopted%20in%202006,UNCITRAL%20Model%20Law%20on%20International%20Commercial%20Arbitration%20(1985)%2C%20with,needs%20of%20international%20commercial%20arbitration (diakses tanggal 29 Juni 2023 pukul 10:35 WIB).

[8] Lihat misalnya Huala Adolf, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Tentang Arbitrase Internasional, Jurnal Fiat Justitia, Volume 10 Issue 2, April-June 2016, hlm. 331.

[9] Untuk melihat lebih lanjut mengenai kedua undang-undang ini silakan kunjungi laman berikut ini: https://sso.agc.gov.sg/Search/Content?Phrase=arbitration&PhraseType=AllTheseWords&In=InForce_Act_SL&Within=title

[10] Lihat kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agun No 01/Banding/Wasit-Int/2002 tanggal 8 Maret 2004 dalam Hulman Panjaitan, “Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008“, September 2013, hlm. 152. Lihat juga pendapat ahli Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H., yang disitir dalam Perkara No 15/PUU-XII/2014 hlm. 20.

[11] Untuk mengetahui lebih dalam mengenai konsep ini silakan dibaca beberapa referensi antara lain Albert Jan van den Berg, When Is an Arbitral Award Nondomestic Under the New York Convention 1958, Pace La Review, Volume 6, Issue 1 Fall 1985.

[12] Lihat misalnya Albert Jan van den Berg, Should the Setting Aside of the Arbitral Award be Abolished?, ICSID Review, (2014), hlm. 1-26.

[13] Selain primary jurisdiction ada istilah secondary jurisdiction yaitu pengadilan di negara di mana putusan arbitrase akan dilaksanakan. Pengadilan di secondary jurisdiction pada umumnya berhak untuk mengakui atau tidak mengakui dan/atau melaksanakan atau tidak melaksanakan putusan arbitrase yang diputuskan di yurisdiksi lain.

[14] Pilihan untuk menggunakan peraturan acara arbitrase (arbitration rules) asing ini dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU No 30.1999 bahwa “Para pihak dalam suatu perjanjian arbitrase yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini“.

[15] Pilihan hukum sunstantif (substantive choice of law) ini dimungkinkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum Indonesia.

[16] Pilihan ini dimungkinkan dalam penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU No 30/1999 bahwa “Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yan diterapkan adalah hukum tempat arbitrase dilakukan”.

[17] Sengketa-sengketa investasi antara investor dan Negara yang selain yang menggunakan ICSID (seperti misalnya UNCITRAL, SCC atau SIAC) masih dapat dibatalkan (set aside) di negara tempat arbitrase (seat of arbitration).